Ngobrolin Soal Bekerja

Kadang kita baru merasakan sesuatu itu berkah atau nikmat ketika hal tersebut diambil dari kita. Sometimes we take it for granted. Salah satunya adalah pekerjaan. Apalagi di masa pandemi seperti ini, ketika masih memiliki pekerjaan, itu merupakan salah satu berkah. Sejak pandemi saya jadi punya kesadaran kalau saya memang suka bekerja dan punya kerjaan. Rasanya saat awal-awal pandemi, bengong dan tidak mengerjakan apapun terlihat menyenangkan. Tapi setelah tiga hari, rasanya badan pegel-pegel dan malah jadi berasa sakit. Ternyata bergerak dan bekerja itu merupakan hal yang saya nikmati. Rasanya senang sekali ketika punya kesibukan. Tapiiii meskipun senang bersibuk ria, bukan berarti saya ga mengeluh ya. Tetep aja ketika kerjaan banyak, ga punya waktu buat baca buku atau nonton drama, saya suka mengeluh. Apalagi ketika dikejar-kejar garis mati a.k.a deadline, berasa kayak habis lari sprint.

Meskipun begitu bekerja dan sibuk itu perlu diimbangi dengan istirahat dan melakukan kegiatan yang menyenangkan juga. Saya merupakan penganut work life balance. I do love my work, but doesn’t mean I live to work. Jangan sampai kebalik, malah sibuk bekerja sampai lupa sama hidup sendiri. Oh jangan salah, temen-temen saya yang pegawai korporat menjadi sibuk bekerja hingga tidak ada waktu untuk kehidupan pribadinya. Beneran ga sehat. Bahkan sejak pandemi mereka bisa bekerja nyaris 24 jam 7 hari seminggu. Pelukin orang-orang yang kerjanya begini. Kalau kerjanya sudah seperti ini, ga mungkin banget kalau ga ngeluh. Mau sebersyukur dan merasa berkah masih punya pekerjaan, tapi kalo diperbudak tetep aja lelah ya.

Image result for you live to work we work to live, emely in paris
Sebuah percakapan yang saya suka dari tv series Emily in Paris

Beberapa hal yang suka saya bilang ketika temen-temen saya ini curhat dan berada dalam keadaan dilema -bersyukur punya kerja, tapi ya capek dan pengen ngambek karena ga punya waktu napas- : ga apa apa kalau mau mengeluh. Karena mengeluh juga mengeluarkan emosi negatif yang jadi stressor untuk diri sendiri. Dari pada dipendem dan ujung-ujungnya jadi sakit, lebih baik dikeluarkan.

Hal lain yang perlu dilakukan adalah membangun batasan. Sampai sejauh mana pekerjaan perlu dilakukan dan hingga jam berapa. Pekerjaan itu kan ga ada habis-habisnya yah, dan setiap hari akan selalu ada pekerjaan baru yang menunggu. Ketika kita memaksakan diri terus bekerja tanpa kenal istirahat, orang-orang sekitar pun menjadi terbiasa untuk memberikan kita pekerjaan terus menerus. Makanya batasan itu penting banget. Harus submit dokumen tertentu itu penting, tapi ketika itu harus dilakukan pukul 12 malam? Apa yang menerimanya akan langsung membaca di jam itu? Atau memang korporasinya bekerja sama dengan perusahaan yang beda zona waktu? Kalau jawabannya engga, sebenarnya bisa dilakukan besok pagi ga sih?

Satu lagi yang sering saya ingatkan untuk temen-temen saya ini adalah jangan lupa buat nafas. Cara kita bernafas itu memberitahu banyak hal mengenai kehidupan kita. Apakah tipe yang cepat dan terburu-buru? Atau tipe yang lambat dan tenang? Atau tidak teratur? Saat menyadari tipe nafas kita, saat itu juga kita punya kontrol terhadap diri. Ketika lagi stres dan capek banget, coba untuk bernafas lebih pelan dari pada biasanya. Saya suka pakai perhitungan 5 ketukan untuk menarik udara masuk – 5 ketukan menahan nafas – 7 ketukan untuk mengeluarkan udara. Ketika kita bisa lebih lama mengeluarkan udara dari dalam badan, semkkin tenang diri kita.

Bekerja itu penting dan merupakan berkah, oleh karena itu jangan berakhir dengan mengorbankan fisik dan mental juga.

Ketika Penghasilan Istri Lebih Besar dari Suami

Pernah ada di situasi seperti judul tulisan saya ini ga? Atau buat yang masih single pernah terpikirkan ga kalau suatu saat ketika menikah ternyata gaji pasangan kita lebih rendah atau lebih tinggi dari kita? Akan jadi masalah ga sih ketika berumah tangga?

Sebenarnya ini juga adalah pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak saya ketika Mbak Noni dan Vinny mengajak untuk ngobrol santai di podcast mereka, single married. Ngomongin soal hal ini ternyata ga hanya ada di film-film loh, tapi juga terkadang memang kejadian di dunia nyata. Di Indonesia pun beberapa pasangan juga mengalami kondisi di mana istri memiliki penghasilan yang lebih besar dari suami.

Sebenernya ini tidak akan jadi masalah ketika dari kedua belah pihak memiliki komunikasi yang baik dan memang sudah diketahui saat awal pernikahan ataupun saat pacaran. Sayangnya kita ga hidup di dunia yang ideal. Isu-isu terkait hubungan rumah tangga saja sebenarnya cukup banyak tanpa perlu ditambah dengan hal ini. Apalagi dengan pandangan orang-orang yang masih banyak berpikir bahwa kesuksesan perempuan itu ketika bisa mengurus rumah dan anak dengan baik, dan kesuksesan laki-laki apabila memiliki pekerjaan tetap dan punya rumah serta mobil.

Yuk simak obrolan Mbak Noni, Vinny, dan saya di podcast single married untuk melihat pandangan terkait hal ini baik dari sisi yang sudah menikah, yang masih lajang, dan dari sisi psikologinya. Selain itu kami juga ngobrol beberapa kasus nyata yang ada dan pernah kami temui terkait soal penghasilan suami-istri.

Hal-hal yang Dilakukan untuk Mengurangi Kecemasan

Judulnya panjang banget yaaaa!!!! Buat saya dengan berada di dalam rumah dan membaca whats app grup dari beberapa grup dengan berita yang simpang siur mana hoax dan mana yang benar, membuat saya punya kecemasan yang tertekan di dalam pikiran. Pada akhirnya ini mempengaruhi perubahan pola makan saya yang jadi tidak terkontrol alias banyak banget ngemilnya!!! Memasuki minggu kedua ini berat badan saya udah naik!! Ada juga yang semakin stres lihat berita ataupun grup-grup wa ga?

Saya yakin ga sendirian yang merasa sepert ini, apalagi dengan semakin bertambahnya jumlah yang terpapar Viruskorona ini. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kecemasan? Saya punya beberapa hal yang telah saya lakukan sendiri untuk mengurangi kecemasan:

  1. Membangun ritme hidup
    Dengan semua orang ada di dalam rumah dan punya berbagai kewajiban yang harus dilakukan, penting untuk mulai membangun ritme yang baru selama berada di rumah. Kapan harus bekerja, istirahat, menemani anak belajar, dan kapan saatnay untuk berhenti bekerja. Jangan sampai jam kerja yanng tadinya jam 9-17 berubah jadi 24 jam. Begitupun saat harus bekerja, untuk membangun suasana kerja, dandan sedikti atau menggunakan baju semi formal bisa menjadi pilihan.
  2. Berjemur di bawah sinar matahari
    Taman di dalam rumah serta balkon adalah tempat terbaik untuk berjemur di pagi hari. Vitamin D yang ada di sinar matahari pada pukul 09.00 – 11.00 bagus banget untuk badan. Apalagi kalau terlalu sering di dalam rumah, saya bawaannya suka gloomy, jadi dengan berjemur bisa mencerahkan suasana hati juga. Bisa juga berjemur sambil piknik dan tetap masih di rumah aja.
  3. Menggunakan mode mute untuk grup-grup whats app yang banyak update berita soal viruskorona. Kalau mau tahu soal berita terkini, alangkah baiknya langsung mengecek di aplikasi atau website kanal berita. Mengecek berita ini pun saya lakukan maksimal hanya dua kali dalam sehari. Langkah ini dilakukan sebagai bentuk membentengi diri dan tetap menentramkan hati.
  4. Meditasi mindfulness
    Sekarang ini di google play atau apple store sudah banyak banget aplikasi terkait hal ini dan bisa bantu banget untuk mengurangi kecemasan. Aplikasi yang saya gunakan untuk meditasi biasanya adalah headspace. Aplikasi ini punya pilihan untuk belajar meditasi mindfulness untuk 3, 5 dan 10 menit. Jadi buat pemula enak banget belajarnya.
  5. Makan yang sehat serta tidur yang cukup juga membantu banget untuk mengurangi kecemasan dan memulai hari dengan lebih segar dan tenang.
  6. Olahraga
    Di rumah aja bukan berarti ga olahraga ya. Ada banyak program work out, yoga, ataupun zumba di hp. Kalau saya dan beberapa teman, kita sengaja video call untuk yoga bareng via google duo.
  7. Membereskan barang-barang yang ada di rumah
    Dengan kita selalu di rumah apalagi dengan terlalu banyak barang, ternyata bisa menimbulkan kecemasan tersendiri loh. Kegiatan membereskan barang-barang ini bisa sebagai terapi untuk mengurangi kecemasan. Soal in saya pernah bikin satu tulisan tersendiri.
  8. Kalau sudah mulai bosan dan ga ada temen ngobrol, saatnya untuk menyapa atau video call dengan teman-teman yang juga lagi di rumah aja bisa membantu untuk meningkatkan hormon kebahagiaan, karena pada akhirnya sebagai manusia kita tetap perlu interaksi sosial.

Kurang lebih ini adalah hal-hal yang saya lakukan untuk mengurangi kecemasan selama social distance dan di rumah aja. Kalau teman-teman yang lain biasanya apa yang dilakukan?

Pengalaman Melakukan Psikososial di Sulawesi Tengah

Tidak terasa hampir sepuluh bulan yang lalu sejak saya menginjakkan kaki di Sulawesi Tengah. Di sebuah provinsi yang setahun lalu dilanda gempa berkekuatan besar yang menyebabkan tsunami serta likuivaksi di beberapa daerah.

Saya pun tidak pernah terbayang akan pergi ke tempat pasca bencana tersebut untuk membantu anak-anak sekolah dasar di sana melalui kegiatan psikososial. Mengapa bukan trauma healing? Hal ini dikarenakan penanganan terhadap trauma secara psikis baru terlihat setelah empat hingga enam bulan setelah kejadian. Untuk penanganan pertama pasca bencana alam yang perlu dilakukan adalah memastikan kebutuhan dasar terpenuhi. Memastikan kembali mereka memiliki ritme hidup yang sempat berantakan pasca bencana terjadi.

Saat itu saya datang ke Sulawesi Tengah setelah dua bulan bencana terjadi, yaitu di bulan Desember. Rasa was-was dan cemas sudah pasti melanda. Ini akan menjadi pertama kalinya saya turun ke tempat bencana. Terbayang di benak bahwa saya masih akan melihat puing-puing bangunan dan juga tenda-tenda darurat pengungsian. Benar saja, saat sampai di bandara Palu, saya masih dapat melihat kabel-kabel yang menggantung. Sepanjang jalan pun saya dapat melihat runtuhan rumah-rumah dan bangunan-bangunan yang miring. Tenda-tenda pengungsian masih terpasang di mana-mana. Namun Palu mulai bangkit. Pasar-pasar mulai kembali hidup, beberapa toko dan warung sudah kembali buka, beberapa pengungsi sudah mengosongkan tenda dan kembali ke rumah, beberapa lainnya kembali membangun rumah yang sempat hancur, serta beberapa jalan pun sudah ramai dilalui oleh kendaraan.

Selama di Sulawesi Tengah, saya serta tim yang terdiri dari guru-guru, beberapa orang dari Wanadri yang sudah biasa menghadapi bencana bepergian dari satu SD ke SD yang lain untuk bermain bersama dengan anak-anak. Tujuan dari bermain ini adalah untuk mengurangi trauma yang mereka alami dengan menggunakan prinsip-prinsip metode Waldorf, salah satu metode pengajaran yang sedang saya pelajari sejak beberapa tahun terakhir ini. Saya sungguh bersyukur dikaruniai tim guru-guru yang pernah mengikuti Pedagogical First Aid yang diberikan oleh tim Friends of Waldorf bagian emergency education program -yang merupakan organisasi nirlaba yang sering bepergian ke lokasi bencana serta zona perang- saat mereka sedang membantu mencegah terjadinya stress jangka panjang pasca bencana. Kami semua mengerjakan apa yang kami bisa untuk dapat membantu anak-anak menyesuaikan diri dan meminimalisir trauma pasca gempa.

Setiap hari kami berpencar, pergi ke dua hingga tiga sekolah untuk melakukan psikososial. Kegiatan yang biasanya dilakukan adalah membentuk lingkaran, bernyanyi, memberikan hiburan, bermain secara kolaborasi, serta memberikan dongeng yang dapat membantu mereka melalui masa-masa berat di pengungsian. Semua kegiatan dan gerakan yang diberikan memiliki makna untuk membentuk kembali ritme hidup yang berantakan dan memberikan semangat kebersamaan kepada semuanya.

Pengalaman yang luar biasa. Saya banyak sekali belajar mengenai kerja sama tim, saling mengkomunikasikan apa yang ingin dikerjakan, apa yang perlu dilakukan dalam situasi yang serba terbatas, serta meluruskan niat untuk dapat membantu anak-anak di daerah Kota Palu dan Kabupaten Sigi.

Semoga semua yang dikerjakan melalui hati ini dapat dirasakan dan membuat anak-anak serta orang dewasa yang kami temui sedikit terobati, aamiin.

Berbagi Ilmu

Selalu ada yang pertama untuk semua hal termasuk menjadi pembicara di wilayah pendidikan. Sebelum-sebelumnya saya selalu ga pede kalau diajakin untuk tampil berbicara dalam topik bertema edukasi dan parenting. Selain hanya punya bekal teori, saya juga belum terlatih mengalami berbagai kasus berhubungan dengan kedua bidang ini. Selain itu pekerjaan saya pun kebanyakan dari perusahaan untuk penerimaan pegawai ataupun evaluasi jabatan.

Dua tahun ke belakang, saya mulai sering membantu tk di dekat rumah yang menggunakan pendekatan Waldorf. Tentunya tidak menjadi guru tk, tetapi lebih membantu satu kali seminggu saat klab ibu dan anak. Untuk saya pribadi, membantu kegiatan klab ibu dan anak ini membuat saya punya kesempatan untuk mengenal lebih dekat tingkah laku anak dan menanganinya secara langsung. Selain itu sejak tahun lalu saya pun mengikuti pelatihan Waldorf early childhood education yang menambahkan nilai pada apa yang saya pelajari dan bisa langsung dipraktekkan saat kegiatan klab juga.

Pengalaman-pengalaman inilah yang menghantarkan saya menjadi semakin percaya diri saat berbicara mengenai permasalahan anak dan bagaimana mengatasinya. Sehingga sejak bulan lalu saya mulai berani mengambil peran untuk menjadi pembicara serta mengatur ritme kegiatan dalam acara pelatihan orang tua maupun parenting

Awalnya jangan ditanya deg-degannya, udah berasa mau disidang!! Hahahahaha. Walaupun begitu memang apa yang disampaikan dengan hati tentu akan kembali ke hati, rasanya hangat sekali ketika berdiskusi maupun melakukan kegiatan bersama orang tua. Apalagi saat selesai dan mendengarkan kesan mereka terhadap acara ini. Huhuhu yang ada saya malah berkaca-kaca karena kesannya rata-rata positif. 

Kalau sudah begini, berbagi itu rasanya sungguh menyenangkan dan menjadi nagih. Rasanya sayang sekali ketika saya memiliki ilmu yang bisa saya bagi namun belum menemukan tempat untuk berbaginya.

Semoga kembali ada kesempatan untuk berbagi mengenai pendidikan di tahun ini, aamiin!!

saat jadi salah satu pembicara di Seminar Parenting

Little Cabin in The Woods

We are busy.  Every day at the same time. Every day seeing the same scene. There are a lot of things to do. There are a lot of calls to make. Even when the night comes, every time, and as expected, a lot of people.  Did you ever think you wanted to escape?

Hidup di perkotaan dengan hingar bingar dan hidup yang berlangsung serba auto pilot, dua orang artis Korea, So ji Sub dan Park Shin Hye setuju menjadi dua orang subjek eksperimen dan mencoba tinggal disebuah kabin di tengah alam Pulau Jeju. Selama tinggal di sana mereka akan hidup dengan listrik dan air terbatas serta melakukan beberapa tantangan untuk melihat apakah bisa mendapat kebahagiaan dari kegiatan tersebut.

Seberapa bahagiakah kita saat ini?

Seperti yang kita ketahui bahwa dengan segala kemudahan yang ada di perkotaan, terkadang hidup bisa menjadi sangat menantang. Dengan mudahnya berkomunikasi, batasan antara waktu bekerja dan istirahat terkadang menjadi buram. Apalagi kalau melihat banyaknya kemewahan dan komsumtif yang ada di sosial media kayaknya hidup orang-orang kok mudah dan bahagia terus sih?! Orang-orang pun menjadi lebih rentan terhadap stres dan depresi.

Little cabin in the woods ingin menghadirkan bahwa ada hal-hal kecil disekitar kita yang terkadang kita menerimanya begitu saja sampai-sampai tidak menyadari bahwa dengan adanya hal tersebut ternyata kita sudah bisa merasa cukup. Selain itu acara ini juga mengenalkan sebuah konsep hidup minimalis penuh kesadaran sehingga setiap kegiatan yang kita lakukan menjadi bermakna. Ketika kita sedang berproses, disaat itulah terkadang jawaban mengenai apakah kita bahagia bisa terjawab.

Image result for little cabin in the woods korean variety, review

Konsep hidup minimalis yang ada di acara ini seperti saat episode pertama di mana kedua subjek eksperimen diminta memilah benda-benda yang penting untuk mereka tinggal di kabin dan menyerahkan barang lainnya kepada staf. Mau tidak mau Park Shin Hye yang membawa dua koper ukuran besar dipaksa memilah barang mana yang penting untuknya. Atau di episode lain kedua subjek diminta untuk mengerjakan satu kegiatan selama satu waktu. Untuk yang terbiasa multi tasking, melakukan hal ini tuh bikin gatel banget!! Tapi sambil menonton, saya pun jadi ikut melihat detail-detail lain yang kadang-kadang luput karena kita melakukan beberapa pekerjaan sekaligus.

Saat pertama kali menonton little cabin in the woods, saya merasa sedang menonton penelitian yang ingin saya lakukan dulu ketika zaman thesis. Seperti impian yang jadi kenyataan!! Saya memang sudah beberapa tahun belakangan ini senang dengan tema mindfulness dan akhirnya diikuti oleh printilannya seperti hidup minimalis dan mengerjakan sesuatu secara bermakna. Asyiknya, beberapa eksperimen yang ada di acara ini bisa juga kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Walaupun begitu saya sadar kalau little cabin in the woods ini bukanlah reality show yang akan disukai semua orang. Little cabin in the woods merupakan salah satu reality show besutan produser Korea Na Young Seok (Na PD) yang mengambil sudut pandang program hasil eksperimen dan semi dokumenter. Na PD sendiri mengatakan bahwa kejaran untuk little cabin in the woods bukanlah rating, tapi pengalaman baru. Na PD pun mengatakan bahwa bisa jadi kita akan mengantuk di tengah-tengah menontonnya yang bener-bener saya aamiin-kan!! Sebagian besar yang akan kita lihat adalah pemandangan khas pegunungan serta bagaimana warna tumbuhan saat perubahan musim selama tiga bulan acara ini berlangsung. Telinga kita pun akan dimanjakan dengan suara air mengalir di sungai, angin, hujan, gesekan daun di pohon, suara berbagai jenis burung, ranting kayu yang terbakar, bahkan percikan minyak saat memasak. Saya pribadi saja sangat senang menonton reality show ini di malam hari sebelum tidur karena bikin relaks dan bisa bikin tidur saya lebih nyenyak. Bahkan saya tidak bisa menyelesaikan acara ini dalam satu waktu. Biasanya kepotong dua atau tiga kali karena keburu ngantuk.

Merasakan Hati

jangan lupa bahagia!!

#bahagiareceh atau #bahagiaitusederhana

Saat ini begitu banyak orang yang mengingatkan untuk tidak lupa bahagia dan bersyukur dengan hal-hal kecil yang ada disekitar saya. Saya tidak menyalahkan  bahwa kita perlu mengingat kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang ada di sekitar kita. Namun saat mencari sedikit atau setetes kebahagiaan, kita perlu mengingat bahwa untuk merasakan kebahagiaan kadang kita perlu mengetahui dan merasakan apa yang disebut dengan kecewa, sedih, atau pun marah.

Sayangnya belakangan saya jadi melihat menjadi bahagia ini malah menjadi beban. Setiap orang berlomba-lomba menunjukkan kebahagiannya di sosial media. Seolah-olah ketika merasakan emosi lain adalah sebuah kesalahan. Misalkan saja saat ada postingan sedih atau galau akan ada yang berkomentar bahwa kita baperan atau galau terus. Jadinya banyak menuntut diri sendiri harus bahagia, harus bersyukur.

Ketika kebahagiaan sudah menjadi sesuatu yang diharuskan, apakah kita sudah benar-benar jujur dengan diri sendiri? Sudahkah kita benar-benar bahagia? Atau sebenarnya sedang membohongi diri dengan pura-pura bahagia? atau bahagia secara artificial saja? padahal sedang sedih, kecewa atau marah.

Bukankah penting untuk diri mengenali emosi dan menjadi jujur dengan keadaannya?  Menjadi sadar dengan semua emosi yang dirasakan. Oleh karena itu buat saya, it’s ok to be not okay. Karena dengan mengenali emosi dan perasaan di dalam diri, kita dapat menyadari kelebihan dan kekurangan yang ada sehingga benar-benar bersyukur dengan semua yang terjadi. Menjadi sadar tentang setiap emosi menurut saya menuntun kita menjadi manusia yang humanis. Menjadi manusia yang dapat berempati dengan lingkungan sekitarnya dan dapat berbagi kebahagiaan yang dimilikinya dengan sekitarnya.

Kebayang ga sih kalau kita selalu merasa bahagia dan tidak pernah sedih? Akankah kita bisa berempati terhadap masalah orang lain? Akankah kita menjadi manusia yang egois?

Sebagaimana “sad” dalam film animasi Inside Out, semua emosi itu penting dan memainkan peranannya masing-masing. Sehingga berkesadaran dengan emosi dan perasaan sendiri menjadi lebih penting dari sekedar bahagia.

Problem Solving

We live as human being, so fight or flight is not the only choice that we have.

We need to face our fear and our battle. Ini adalah saatnya untuk berpikir, merasakan, dan bergerak untuk menyelesaikan masalah. Karena segala sesuatu butuh akhir untuk bisa menutup satu pintu dan membuka pintu yang lain. Kebayang ga kalau banyak pintu yang dibuka dan ga ada satu pun yang ditutup? Saya bakal masuk angin!! Begitu juga dengan masalah-masalah mengganjal dalam hidup. Kalau punya masalah-masalah yang tidak terselesaikan, suka atau tidak akan mempengaruhi perasaan, pikiran, serta lingkungan di sekitar. Untuk masalah ini contoh paling gampang adalah dengan melihat anak kecil di sekitar. Saat saya lagi banyak pikiran, biasanya anak-anak disekitar saya akan lebih chaos dan jadi bikin stres. Ada ibu-ibu atau guru yang pernah merasakan ini? Rasanya udah lagi pusing malah tambah pusing dan emosi.

Everything need to be settled.

Saya termasuk yang mengamini bahwa sebelum masuk ke babak baru kehidupan, kita perlu menyelesaikan masalah-masalah yang mengganjal. Agar tidak terbawa pada kehidupan selanjutnya. Agar bisa beneran mengawali semuanya dengan tenang dan damai.

Some problems need to meet to be discussed directly

Cara paling mudah namun juga sulit untuk dilakukan adalah dengan bertemu langsung dan menyelesaikan masalah diantara kedua belah pihak. Untuk saling melihat perbedaan persepsi saat masalah itu datang. Untuk mengingatkan alam bawah sadar bahwa kejadian itu nyata adanya. Kalau kata seorang sahabat saya mah agar hidup kembali normal, tenang, dan damai.

Everyone need to move on

Ketika saya menghadapi dan menyelesaikan sebuah permasalahan, maka saatnya benar-benar beranjak dari tempat yang membuat kita ga move on. Terkadang move on itu bukan masalah perasaan atau rasa suka, tetapi juga mengenai pembicaraan yang mengambang, rasa penasaran yang belum terpuaskan, dan pertanyaan yang tidak terjawab. Kesemuanya mengakibatkan ada potongan dari diri yang masih menetap, memandang ke arah sana. Enggan beranjak.

the signs given during these two weeks leads me to the finish line. the timing is right.  I finally see how far we growth from the start…and I feel blessed. 

 

You Can’t Take Depression Lightly

Image result for world suicide awareness day 2017

Sepuluh September merupakan Word Suicide Prevention Day atau yang di Bahasa Indonesia menjadi hari pencegahan bunuh diri sedunia. Beberapa teman dari psikolog Bandung pun beramai-ramai menyebarkan pesan bertagar psikolog peduli untuk menyebarkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mencegah bunuh diri terjadi di Car Free Day Bandung pada hari Minggu.

Hal ini mengingatkan saya akan Chester Bennington yang memilih bunuh diri karena depresi. Kematiannya sangat tiba-tiba dan membangkitkan ingatan untuk selalu aware dengan orang-orang yang mungkin memiliki depresi tapi kita ga sadar. Kita ga pernah tahu mau di luar kelihatan sebahagia apa tapi di dalamnya mah ga ada yang pernah tahu kegelapan yang mungkin sedang mereka alami.

Depresi ga bisa dianggep sebagai suatu masalah yang mudah. We can’t just say that they need go to psychologist or psychiatry. Apalagi dengan masyarakat kita yang masih aneh banget kalau ada orang mau curhat ke psikolog, padahal berat atau entengnya masalah itukan balik lagi ke yang ngejalanin. Kita ga bisa menjudge masalah putus si A dan si B itu sama, atau masalah keluarga si C dan si D itu sama. Pola asuh dan cara didik mereka hingga jadi individu aja beda, pengalaman serta perasaan-perasaan yang terjadi pun beda, gimana mau disamain?! Tiap individu itukan unik. Itu pulalah yang membuat saya sebagai manusia perlu memanusiakaan manusia. Sesuatu yang belakangan ini jadi hal yang jarang ditemui. Kesannya harus ikut suatu golongan dan ga boleh berada di wilayah abu-abu atau punya pandangan yang berbeda dari pada kebanyakan orang lain.

Orang-orang yang depresi pun ga bisa dengan mudah diomongin bahwa mereka kurang kuat imannya atau “kalo lo bunuh diri dan nyerah lo bakal masuk neraka”. Please don’t play God in here. Dunia ini mungkin udah jadi neraka tersendiri buat mereka. They even don’t know what to do to solve their problem.

Please kalau ada orang yang merasa kesulitan untuk masalah yang sedang dihadapinya, kita jangan ngejudge dengan mengatakan “yaelah masalah gitu doang”. Mungkin buat mereka itu adalah masalah terbesar dan terberat yang pernah mereka dapatkan. kalau ada temen atau orang seperti ini, kita sebagai orang terdekat bisa membantu dengan mendengarkan mereka untuk menyadarkan bahwa mereka ga sendiri dan kita akan selalu ada buat mereka ketika ada masalah yang sulit.

Kita sebagai support system itu menjadi bantuan yang berharga untuk mereka. Ga usah jauh-jauh nyari contoh. Beberapa tahun yang lalu saya beneran kebantu dengan support system yang ada di sekitar sehingga bisa melalui patah hati dengan lebih cepat. Selain support system, melakukan kegiatan-kegiatan seperti yoga, maen musik, olahraga, atau kegiatan yang pernah bikin nyaman bisa coba kembali dilakukan oleh orang yang sedang menghadapi depresi. Sebagai temen, kita juga bisa mengingatkan temen yang depresi untuk lebih memperhatikan hidupnya dengan makan yang bener, tidur yang cukup, atau melakukan teknik relaksasi. Karena kadang orang yang sedang depresi ga sadar dengan kesehatannya. Mereka bahkan ga merasa laper yang berarti bisa bikin mereka dehidrasi ataupun ngebuat badan jadi lemes. Terakhir, orang-orang depresi juga membutuhkan bantuan profesional sehingga mereka bisa lebih adjust dengan masalahnya seperti bantuan dari psikiatri maupun psikolog.

It’s okay to be not okay. But please, choose to life. Because every soul in this world is precious

*pict taken from here

Memperbaiki Ritme Hidup

IMG_4862

Sejujurnya ritme hidup saya sedikit kacau begitu selesai kuliah. Tidak ada lagi hari-hari di mana saya harus bangun pagi, beberes rumah, dan mulai menghidupkan pc atau laptop untuk mengerjakan tesis ataupun ketemu pembimbing di hari-hari tertentu. Di bulan-bulan awal hidup bagaikan sedang liburan, isinya leyeh-leyeh dan sesekali buka laptop ketika ada kerjaan yang mampir. Hingga bulan lalu saya mulai gelisah.

Hidup tanpa ritme yang jelas teryata memang bisa membuat kekacauan untuk diri saya. Kerasa banget jadi ga produktif, hidupnya diisi buat nonton drama Korea, drama Jepang, sampai drama Tiongkok hingga jalan-jalan sama temen. Ga ada sesuatu yang menurut saya menghasilkan dari beberapa bulan ini. Saya jadi membuktikan kata-kata seorang guru di kelas Teacher Training Waldorf Early Childhood bahwa sejatinya badan dan jiwa kita menyukai keteraturan dan ritme.

Ritme hidup bisa membuat keseimbangan dalam tubuh dan jiwa. Untuk anak-anak ritme sebenernya membantu untuk mereka lebih tenang, nyaman dan aman karena mereka bisa memprediksi apa yang terjadi dalam hidup lewat ritme hariannya. Selain itu, anak-anak yang udah terbiasa dengan ritme hidupnya jadi bisa eksplorasi lebih di hal yang lain seperti mainannya ataupun mengembangkan imajinasi yang mereka punya. Untuk orang dewasa, saya merasa jadi lebih produktif dan badan menjadi lebih fresh. Makanya kalau lagi ga enak badan atau sakit, saya biasanya jadi lebih memperbaiki ritme hidup kayak makan tiga kali sehari di waktu yang tepat ataupun tidur yang cukup.

Saat awal-awal belajar dan sadar akan ritme hidup, saya suka salah mengartikannya dengan jadwal harian. Padahal sifatnya beda banget. Ritme hidup ga harus melulu soal jadwal kayak bangun harus jam berapa, makan jam berapa, dan seterusnya. Tapi ritme itu lebih ke pembagian kegiatan mulai dari kegiatan yang butuh penyaluran energi atau yang fokus dengan diri sendiri. Kalau dalam pendidikan Waldorf biasanya dikenal dengan kegiatan-kegiatan “breathing in” dan “breathing out”. Contoh paling gampang untuk kegiatan “breathing out” adalah ketika anak bebas bermain, berlari, masak bareng, serta jalan-jalan. Sedangkan contoh untuk kegiatan “breathing in” seperti membaca, beberes rumah, ataupun kerja. Ritme hidup juga biasanya lebih fleksibel daripada jadwal harian, karena kita bisa mengganti beberapa kegiatannya selama tetap dalam mengalir bergantian antara kegiatan “breathing in” dan “breathing out”.

Saya merasakan ketika mulai membenahi ritme hidup, saya mulai membangun kembali keteraturan di dalam hidup saya. Bulan Ramadhan kemaren beneran saat yang tepat buat saya berbenah, sesimpel ngebenerin pola tidur yang sering begadang jadi kembali teratur tidur sebelum jam 11 malem karena mau bangun sahur. Berusaha menyicil setiap kerjaan yang ada. Bulan Ramadhan memang udah berakhir, tapi saya masih terus berbenah dengan ritme hidup agar bisa lebih produktif dan lebih sehat lagi.

Sumber bacaan soal Ritme diambil dari:
Rhythm Waldorf Style
Learning through rhythm
Rhythm the pulse of life
Daily rhythm at home