Travel is finding out the reason to write, and more reason to live.
Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam penerbangan – tiga menit setelah take off dan 8 menit sebelum landing – karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. In a way, it’s kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama sifatnya krtisi karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah – delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah seseorang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu atau justru menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta – Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin ia menginginkan Anya.
Kini, lima tahun dari perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.
Saya berkenalan pertama kali dengan Critical Eleven sekitar tahun 2012, saat Ika Natassa lewat akun twitternya membuat twit panjang soal Travel. Tadinya mau saya tulis di salah satu jurnal dari journ(al)ey. Halamannya udah disediain, apa daya kelupaan buat ditulis. Perkenalan selanjutnya melalui kumpulan cerpen “Autumn Once More”. Di sana Ika kembali menceritakan mengenai Critical Eleven. Semacam makanan pembuka sebelum novelnya keluar. Saya sampai menulis cerita sendiri mengenai Critical Eleven di blog ini. Yah walaupun tentu saja tulisannya ga ada hubungan sama novel, tapi saya jadi tahu istilah baru 😀 .
Membaca Critical Eleven adalah pengalaman yang sangat personal untuk saya. Bacanya mulai dari mewek, narik nafas, tutup novel, mikir, balik baca lagi, sampai bengong sepersekian detik. Lebay? Mungkin iya. Bawa-bawa perasaan alias baper? Mungkin iya. Tapi, saya benar-benar merasakan pergolakan emosi di novel ini. Apalagi ada beberapa kata-kata Ale – Tanya – Bapak Jendral yang membuat saya sejenak merenung dan meresapi kata demi katanya. Walaupun waktu bagian-bagian awal sempet agak bingung dan rada lama bacanya, tapi ditengah-tengah jadi ga pengen ngelepasin bukunya sampai tamat.
Tokoh-tokoh di Critical Eleven ini menurut saya humanis. Ga cuma ngomongin soal bahagia atau pun glamor terus, tapi juga permasalahan-permasalahan yang cukup dekat dan bahkan dialami sendiri oleh kita. Seperti sulitnya Long Distance Relationship (married or not), hubungan orang tua dan anak, hubungan saudara, ataupun hubungan antar pasangan. Karena itu pula, lagi-lagi saya merasakan bahwa novel ini sangat personal. Satu yang berbeda dengan novel Ika Natassa lainnya, tokoh utama ceweknya bukan banker!!
Wah novel baru INat dengan premis yang lumayan beda ya? Looks promising..
Baca dulu aja mas Dani, jangan berekspektasi berlebihan dulu sebelum baca novelnya 😀
Aku baru beli nih dan baru baca kayak 10 halaman.. So far so good 🙂
met baca critical eleven Christaaa
Udah selesai dong Ira.. semalam saja bacanya hihihihihi
wah keren, sudah selesai lagi aja mbak Christa
Aku baruuu aja beres baca td pagi. Sukaaaaaa banget, dan masih baper nih sampe malam ini, kepikiran Anya sama Ale haha..
Hahaha..ternyata ga cuma aku yang baper ya ngebacanya 😀
Semoga uda ada e-book nya, gw ngikutin novel2 dia:)
semoga segera ada ya mbak Fe 🙂
Aaaak kamu dpt yg PO yaaaa…ngiri sama luggage tag-nyaaaa
Buku ini sukses bikin mata bengkak ke kantor, bacanya ngebut sampe begadang huhuhu
alhamdulillah mbak Dita, dapet…
kalau jalan-jalan mau bawa “Ale” ke mana-mana :3
bengkak efek begadang atau efek nangis nih mbak ?
dua-duanyaaaaa huhuhuhu T_T
*pukpuk dari jauh mbak
Di Medan bukunya abis loh itu hehe. Yang beli banyak banget
wah
buku barunya dia ya Ira? Belum punya… nunggu pinjaman dari kamu aja dah
kalau mau pinjem boleh mas Ryan